Saturday, April 11, 2020

Pendidikan yang Menafikan Otensitas


Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan sebaik baik bentuk, membawa "syakilah"nya masing masing yang dititipkan Allah kepada diri mereka. Maka sejatinya manusia itu otentik, saya adalah satu satunya saya dan tidak ada yang lain seperti saya. Aku tidak perlu menjadi engkau untuk menjadi aku. Sidik jari adalah salah satu contoh yang baik.

Maka, tri pusat pendidikan, Masyarakat, keluarga dan sekolah bukanlah tempat untuk menjadi gladiator, membunuh otensitas manusia. Manusia memiliki keunggulan masing masing yang tidak sama. Orang tua yang memiliki anak lebih dari satu paham akan hal ini.

Jika manusia itu berbeda beda, mengapa pula dalam proses pendidikan harus dilakukan penyeragaman? Pendidikan kadang melihat dan membuat model yang hanya satu. Pintar itu seperti Habibie titik. Maka jalan yang ditempuh bagaimana mencetak anak seperti Habibie. Kita lupa diantara mereka ada yang jago masak seperti chef Juna, ada pula yang jago pidato seperti pak Mario Teguh, ada yang daya hafalnya tinggi seperti ustadz Adi Hidayat, ada pula yang jenius dalam musik seperti Erwin Gutawa.

Pendidikan harus menemukan otensitas manusia dan mengarahkannya untuk kebermanfaatan manusia lainnya. Jangan sampai anak kehilangan jati dirinya. Ibarat indonesia yang otensitasnya adalah negara agraris, namun produk agraris malah mengimpor ke negara non agraris. Liberalisasi dalam dunia pendidikan memang benar benar gila.

Beberapa tokoh pendidikan, praktisi tidak suka dengan kondisi ini sehingga mereka menuangkan pemikiran dan pengalamannya dalam buku buku yang dapat diakses oleh umum. Paulo freire dengan pendidikan kaum tertindasnya, Ivan Illich dengan teori “ Deschooling”nya ataupun para pemerhati pendidikan di dalam negeri seperti pak Roem Topatimasang dengan “ Sekolah candunya” pak Toto Rahardjo, pengamat dan praktisi Sanggar Alam Yogyakarta, Eko Prasetyo dengan orang miskin dilarang sekolahnya, Munif Chatib dengan Sekolah manusianya dan Harry Santosa dengan Fitrah based Educationnya.

Setiap orang unik, tidak sama. Jika Allah membuat sidik jari dengan berbeda beda, maka tak ada yang mustahil bagi Allah memberikan bakat, sifat dan "syakilah" yang berbeda beda. Jika Howard Gadner menyatakan bahwa kecerdasan itu majemuk pada era tahun 1980 an sesungguhnya jauh sebelum itu Rasulullah adalah orang yang menghargai talenta masing masing sahabat. Yang terbaik dibidangnya pada masa jahiliyah, maka akan menjadi yang terbaik juga pada masa islam. Mari kita simak. Saad bin Abi Waqash penunggang kuda dan panah yang ulung, Khalid bin Walid ahli strategi dan panglima perang yang handal, Umar bin Khatab ahli dalam manajemen kepemimpinan, Mu'awiyah bin Abi Sufyan sekretaris nabi plus negarawan yang ulung, Ibnu Abbas ahli tafsir, Aisyah dan Abu Hurairah periwayat hadis terbanyak, Ibnu Mas'ud ahli qiroah, Abdurrahman bin Auf ekonom dan ahli perdagangan, Mushab bin Umair duta islam tersukses pada masanya, Hassan bin Tsabit ahli syair, Ali bin Abi Thalib pintu gerbang ilmu dan kebijaksanaan, Zaid bin Tsabit ahli quran dan ahli bahasa. Akan sangat panjang jika disebutkan satu persatu.

Nabi tak menyebut Khalid bodoh hanya karena tak seahli Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat Quran, nabi juga tak menyebut Ibnu Abbas pengecut hanya karena tak seahli Khalid dalam perang. Semua sesuai porsinya masing masing.

Kita otentik dengan diri kita, setiap orang memiliki kelemahan dan kekuatan masing masing. Maka paradigma kolaborasi, bekerjasama untuk menuntaskan suatu hal lebih diutamakan daripada kompetisi antar individu. Bukankah sejak dulu nilai luhur bangsa indonesia adalah gotong royong?
Apakah tidak ada kompetisi? Islam mengajarkan fastabiqul khairot, berlomba lomba dalam kebaikan dimana jenis jenis kebaikan untuk mendapatkan pahala tidak satu jalan. Kompetisi yang lebih utama adalah dengan mengalahkan diri sendiri, mengalahkan egoisme, mengalahkan hawa nafsu, kemalasan dan lain sebagainya, lebih baik dari hari ke hari.

Mochtar Lubis dalam bukunya " Harimau harimau" melalui peran salah seorang tokohnya berpesan
" Sebelum membunuh harimau, bunuh dulu harimau yang ada dalam dirimu"

Author & Editor

Sekolah Langit Biru.

0 comments:

Post a Comment